UNIVERSITAS DIPONEGORO PWK 2014 MARTHA ROSDIANA UTAMI UNIVERSITAS DIPONEGORO PWK 2014

Jumat, 03 Oktober 2014

Kaji Ulang Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang di Indonesia

Di dalam proses merumuskan sebuah kebijakan, pengenalan isu dan masalah yang tepat adalah awal dari pembuatan kebijakan yang berkualitas. Ada adagium yang sudah dikenal luas di dalam studi kebijakan publik, yaitu kebijakan yang belum terlalu tepat namun telah disusun di atas pengenalan isu dan permasalahan yang tepat adalah jauh lebih baik dibanding kebijakan yang tampaknya sempurna namun ternyata disusun di atas pengenalan masalah yang kurang tepat. Oleh karena itu, penulis lebih memilih dengan memulainya dari identifikasi akar permasalahan yang benar-benar mendasar dalam praktek penataan ruang di tanah air. Dari pengamatan penulis, beragam isu dan permasalahan yang paling mendasar dalam praktek penataan ruang dapat digolongkan ke dalam permasalahan internal dan permasalahan eksternal penataan ruang. Permasalahan internal penataan ruang yang paling nyata adalah belum dapat diterapkannya produk-produk perencanaan ruang secara efektif di dalam praktek pembangunan, terutama yang berkaitan dengan dimensi fisik spasial lingkungan binaan. Permasalahan ini disebut juga dengan istilah “adanya gap” antara rencana dan praktek pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Sedangkan permasalahan eksternal penataan ruang muncul dari praktek-praktek pembangunan pada aspek-aspek lainnya yang secara langsung atau tidak langsung semakin menjauhkan kesenjangan rencana dan implementasi, seperti isu pertanahan, keterpaduan infrastruktur, dan sebagainya. sumber :http://iplbi.or.id/2014/02/banjir-jakarta-dan-inefektifitas-tata-ruang-di-indonesia/

Penataan Ruang yang Tidak Efektif

Produk-produk rencana tata ruang wilayah (RTRW nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan produk rencana lainnya) yang tidak diikuti atau mengalami perubahan pada praktek pemanfaatan ruang (baca: pembangunan), sudah menjadi isu yang dikenal luas. Di tingkat perkotaan misalnya, wujud pembangunan kota-kota secara kumulatif dalam kurun puluhan tahun umumnya menyimpang dari RTRW yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan secara pesimis seringkali muncul ungkapan bahwa RTRW justru telah berubah perannya sebagai dokumen untuk memutihkan penyimpangan rencana tata ruang pada periode sebelumnya dan sekaligus sebagai dokumen justifikasi untuk menjalankan praktek pembangunan dari berbagai kelompok kepentingan. Rencana tata ruang akhirnya berubah menjadi ajang pertarungan kepentingan seperti terjadi di DKI Jakarta. Baik secara tersamar-samar maupun yang tampak nyata secara kasat mata. Hasilnya, kepentingan publik selalu menjadi pihak yang kalah, karena hampir tidak ada yang benar-benar memperjuangkannya. Kegagalan mewujudkan rencana tata ruang dalam praktek pemanfaatan dan pengendalian ruang inilah yang dimaksud sebagai penataan ruang yang tidak efektif. Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang melatar-belakangi hal ini, di antaranya: Kegagalan memahami konteks pembangunan di sektor publik. Kegagalan perencanaan ruang akan terjadi ketika proses perencanaan spasial terlepas dari konteks pembangunan yang berada di domain publik. Pelaku-pelaku pembangunan di sektor publik meliputi institusi pemerintah, baik pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, investor swasta dan individu masyarakat yang berurusan dengan kepentingan publik, adalah pihak-pihak yang memberi pengaruh dalam pemanfaatan ruang. Pada kenyataannya, konstelasi para pelaku ini mendudukkan istilah “sesuai rencana” atau “tidak sesuai rencana” sebagai permasalahan yang tidak sederhana. Di dalam konteks pembangunan di sektor publik, banyak sekali kepentingan, penguasaan sumberdaya, dan hubungan kekuasaan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kegagalan membangun komunikasi dengan para pelaku pembangunan. Gagal paham atas pembangunan yang berada di domain publik pada gilirannya menutup upaya-upaya untuk membangun komunikasi manajemen pembangunan yang efektif dengan para pelaku pembangunan. Permasalahan inilah yang melatar-belakangi munculnya pihak-pihak yang ingin lebih memajukan proses perencanaan tata ruang secara partisipatif, atau dikenal sebagai participatory planning. Orientasi berlebihan pada sistem rencana tata ruang. Ini adalah cara pandang yang beranggapan bahwa suatu rencana ruang secara otomatis diterapkan dalam praktek pembangunan. Perspektif ini adalah buah dari kegagalan memahami konstelasi pelaku dan kegagalan membangun komunikasi dengan berbagai aktor pembangunan sebagaimana telah diuraikan di atas. Bahkan cara pandang ini semakin menjadi-jadi dengan anggapan bahwa untuk menerapkan suatu rencana tata ruang harus dibuat rencana tata ruang yang lebih rinci lagi. Sebagai contoh, pelaksanaan RTRW Nasional adalah penerapannya dalam bentuk RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten dapat dioperasionalkan melalui RDTR, dan seterusnya. Pandangan ini biasanya menargetkan dicantumkannya kalimat “mengacu pada Rencana Tata Ruang yang berlaku” ataupun “pengenaan sanksi bagi yang melanggar rencana tata ruang” di dalam pasal-pasal peraturan tertentu. Padahal pada prakteknya, masih banyak “lubang-lubang yang menganga” dalam bentuk istilah penyesuaian rencana, revisi rencana, dan berbagai bentuk negosiasi di antara para pelaku yang luput dari perhatian. Semua proses inilah yang dipakai para pelaku pembangunan sehingga tanpa disadari akhirnya menyimpangkan ketentuan rencana, baik mereka dari pihak pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat luas. Kegagalan mengelola pembangunan berbasis prakarsa publik. Kelemahan dalam mengenali berbagai kelompok kepentingan di dalam pembangunan sektor publik, ditambah kelemahan membangun komunikasi yang efektif, serta diperkuat dengan orientasi yang berlebihan pada produk-produk rencana tata ruang sebagaimana diuraikan di atas, akhirnya bermuara pada kegagalan mengelola suatu prakarsa pembangunan sebagai sebuah prakarsa publik. Pada dasarnya, pembangunan memang harus menempatkan lembaga publik sebagai lokomotif pembangunan untuk membawa prakarsa publik, karena ada begitu banyak kepentingan publik yang dipertaruhkan di dalamnya. Kegagalan memajukan prakarsa publik akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk pasif dan pembiaran praktek pembangunan oleh berbagai kelompok kepentingan. Tidak dapat dielakkan, terciptalah iklim pembiaran yang spekulatif dan mengarah pada fragmentasi pembangunan yang semakin parah. Sebagai contoh, di dalam perencanaan suatu kawasan bisnis di Jakarta yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan komersial pusat kota dengan intensitas tinggi, ternyata tanah di kawasan tersebut telah dikuasai oleh kelompok kepentingan tertentu atau sudah ada konsesi tertentu yang disepakati di balik layar. Produk rencana ruang yang seolah-olah membawa kepentingan publik ternyata telah disusupi kepentingan golongan tertentu. Istilahnya sekarang, “rencana yang sudah masuk angin”. Bisa diduga pula, iklim pembiaran yang spekulatif seperti itu memang secara sengaja diciptakan oleh birokrasi yang korup, sehingga muncul istilah di lapangan yaitu “tata ruang” berubah menjadi “tatar uang”. sumber:http://iplbi.or.id/2014/02/banjir-jakarta-dan-inefektifitas-tata-ruang-di-indonesia/

Prinsip-prinsip dasar Strategi Penataan Ruang

Dengan memahami isu-isu dan permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana diuraikan di atas, maka strategi penataan ruang harus bisa menjamin adanya perubahan-perubahan yang progresif dan signifikan dalam proses penataan ruang sebagai bagian integral dari proses pembangunan. Dengan kata lain, proses penataan ruang harus memiliki landasan yang kokoh, berupa dirumuskannya strategi-strategi penataan ruang, seperti: Meningkatkan pemahaman akan karakter dan peran sektor publik di dalam proses pembangunan yang multi dimensional, Membuka eksklusifisme penataan ruang yang terlalu berorientasi pada sistem rencana tata ruang dan mendorong inklusifisme penataan ruang sebagai bagian pembangunan yang lebih utuh. Mendorong peran pemerintah pusat untuk mengembangkan sistem dan model pembangunan yang utuh dalam rangka memperkuat kapasitas pemerintah daerah. Banyak sekali penyimpangan tata ruang terjadi di tingkat daerah karena lemahnya kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola aktor-aktor pembangunan secara terpadu. Sedangkan pemerintah pusat hadir di daerah sebatas dalam aksi sektor-sektor yang jauh dari utuh dan terpadu. Sebagai contoh, pembangunan menara-menara rumah susun untuk masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan, program pengembangan kawasan, prasarana permukiman, fasos dan fasum serta prasarana transportasi, semuanya diprogramkan masing-masing di lokasi sasaran yang berbeda-beda pula. Demikian pula dengan produk RTRW nya, jauh lebih tidak terpadu lagi. Padahal semua program pembangunan fisik ini, demi mencapai tujuan pelayanan masyarakat dan tujuan efisiensi fiskal, harus dijalankan secara terpadu, semisal melalui penataan permukiman komprehensif dan pembangunan kota-kota baru. Membangun pemahaman yang lebih utuh akan tujuan-tujuan sebenarnya (tujuan-tujuan publik), fungsi dan peran dari penataan ruang sebagai bagian dari pembangunan. Pemahaman terhadap tata ruang sebagai adanya larangan membangun ini dan itu atau larangan di sini dan di situ, tentunya bukanlah pemahaman yang dangkal. Pemahaman atas tata ruang yang dangkal seperti ini justru akhirnya hanya membuka ruang negosiasi untuk membuat berbagai bentuk “penyesuaian”. Untuk itu pemerintah pusat harus terus menerus menjelaskan tujuan-tujuan, fungsi dan peran dari penataan ruang serta pentingnya penataan ruang dari sisi kepentingan semua sektor publik dalam praktek pembangunan di daerah. Termasuk di dalamnya, bagaimana posisi rencana tata ruang terhadap rencana pembangunan lainnya seperti RPJMD, RP3KP, RPIJM, KLHS, dan sebagainya, Mempraktekkan pendekatan pembangunan terpadu. Peran pemerintah pusat tidak berhenti sampai penyebarkan pemahaman yang utuh saja, namun hingga menunjukkan model pembangunan dalam prakteknya melalui pendekatan pembangunan yang terpadu. Sebagai contoh, peran pemerintah pusat di bidang penataan ruang tidak cukup sampai selesainya produk RTRW di daerah, baik provinsi, kota maupun kabupaten. Namun pemerintah pusat harus menunjukkan bagaimana penerapan RTRW tersebut di dalam praktek pembangunan kota, yaitu bagaimana perencanaan ruang dioperasionalkan dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang. Dengan demikian, pemerintah daerah yang kapasitasnya dinilai masih kurang memadai, dapat mecontoh bagaimana suatu peraturan zonasi disusun dan diterapkan sesuai rencana ruang. Target pemahaman dan praktek yang melembaga di dalam penggunaan rencana ruang dalam pembangunan, jauh lebih penting dibanding target formal selesainya naskah RTRW daerah tanpa diiringi kapasitas yang memadai. Ruh penataan ruang itu berada pada praktek yang melembaga, bukan pada formalisasi dan legalisasi dokumen-dokumen produk rencana ruang (RTRW). Inilah strategi yang diperlukan untuk menjawab masalah inefektifitas penataan ruang sekaligus masalah fragmentasi pembangunan, yang sepertinya tidak tampak namun faktanya terjadi di hampir semua sektor pembangunan. Instansi penataan ruang dari pemerintah pusat harus mampu menjelaskan pentingnya penataan ruang dari semua sisi kepentingan sektor publik. Tujuannya tidak lain adalah efektifnya perencanaan pembangunan di semua sektor, melalui keterpaduan pembangunan di daerah-daerah dan di tingkat nasional. sumber :http://iplbi.or.id/2014/02/banjir-jakarta-dan-inefektifitas-tata-ruang-di-indonesia/

Ada apa dengan Rencana Tata Ruang Jakarta 2030?

Rencana tata ruang Jakarta 2010-2030 khususnya untuk jenis pemanfaatan lahan di kota Jakarta sebaiknya perlu dicermati kembali. Peta berikut menunjukkan bahwa zona berwarna ungu merupakan area perdagangan atau diperuntukkan untuk kegiatan komersil, pemerintahan dan sedangkan zona kuning merupakan peruntukan lahan untuk pemukiman dan zona hijau merupakan peruntukan untuk kawasan terbuka hijau budidaya. Dilihat dari proporsi luasan masing-masing fungsi kawasan berdasarkan peta rencana pemanfaatan lahan di kota Jakarta menunjukkan bahwa perencanaan untuk peningkatan luas kawasan hijau sebagai resapan porsinya sangat sedikit, bahkan kemungkinan tidak memenuhi kuota pemenuhan kebutuhan RTH perkotaan sebesar 30%. jika demikian apakah hingga 2030 Jakarta masih bersahabat dengan BANJIR? Peta Rencana Pola Ruang DKI Jakarta (sumber: Pemprov DKI Jakarta) Peta Rencana Pemanfaatan Lahan Jakarta 2010-2030 menggambarkan bahwa pusat kegiatan perdagangan, pemerintahan dan jasa berada di pusat kota dan dikelilingi oleh pemukiman. Pusat kegiatan yang memicu tingginya bangkitan lalu lintas berpusat ditengah kota, maka tidak heran pusat kota Jakarta semakin terkepung oleh arus pergerakan lalu lintas menuju pusat kota. Dampaknya sudah bisa kita bayangkan bersama bahwa kemacetan lalu lintas tentu semakin menggila, jika demikian, sebenarnya “apa yang telah direncanakan untuk Jakarta hingga tahun 2030”?. Sebaiknya perlu mengkaji kembali mengenai analisis tata guna lahan melalui overlay peta kondisi fisik wilayah di Jakarta hingga menghasilkan perencanaan pemanfaatan lahan seperti yang terlampir pada peta. Jika penggunaan lahan untuk 2030 saja menunjukkan porsi ruang terbuka hijau yang sangat kurang, bagaimana dengan Jakarta 2050? Apakah rencana untuk pengadaan ruang terbuka hijau masih ada?. Potensi RTH di DKI Jakarta Perencanaan wilayah dan perkotaan sepertinya berorientasi mengenai peningkatan fasilitas kebutuhan dimasa yang akan datang berdasarkan konsep tren perkembangan penduduk. Perencanaan wilayah dan kota belum memikirkan bagaimana merencanakan pengendalian pertumbuhan pemanfaatan lahan yang diikuti dengan strategi pertumbuhan penduduk. Akibatnya perencanaan wilayah selalu berorientasi memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat 2X lipat selama 10 tahun kedepan. Dampaknya adalah kebutuhan ruang semakin meningkat, dan lahan hijau yang menjadi resapan air juga semakin berkurang. Mencermati kondisi Jakarta saat ini, dimana kualitas lingkungan dan masalah perkotaan yang semakin kompleks, apakah perencanaan fasilitas berdasarkan proyeksi jumlah penduduk hingga 10 tahun masih relevan digunakan untuk menentukan pemanfaatan lahan di Jakarta? Cara pandang melihat permasalahan kota Jakarta sangat menentukan perencanaan peruntukan penggunaan lahan yang akan berimplikasi pada sektor lain terutama lingkungan. Mengembalikan fungsi kota Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia menjadi dasar perencanaan kota Jakarta kedepannya. City centre bisa menjadi alternatif bagi permasalahan di kota Jakarta. Perencanaan kota Jakarta belum mempertimbangkan penentuan city centre baru dalam kota Jakarta, tujuannya adalah untuk memecah, membagi pusat-pusat kegiatan ke sub-sub kawasan lain, sehingga mampu memutus pergerakan massal ke satu titik pusat kota Jakarta. City centre merupakan kelompok blok-blok kawasan dalam satu kota yang saling berintegrasi untuk memusatkan kegiatan perkotaan dan sistem transportasi. Konsentrasi wilayah perkotaan dan sistem integrasi dengan kawasan lainnya akan dilayani dengan fasilitas transportasi publik. Melalui perencanaan kawasan untuk city centre, targetnya adalah penduduk kota Jakarta tidak perlu melakukan perjalanan massal pada satu titik pusat kegiatan karena setiap city centre menyediakan fungsi dan pelayanan yang sama. Warga Jakarta Selatan misalnya tidak perlu ke Jakarta pusat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena di Jakarta selatan memiliki city centre sendiri.Perencanaan kawasan city centre juga selayaknya mengutamakan pembangunan vertikal multifungsi, yakni mengurangi pembangunan perumahan petak, beralih pada pembangunan vertikal yang menyediakan fasilitas pelayanan publik seperti toko/minimarket, dan laundry. Perencanaan sekali lagi bukan perkara menyediakan kebutuhan berdasarkan proyeksi jumlah penduduk yang terus bertambah, melainkan perencanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk mengelola pertumbuhan penduduk melalui strategi pemanfaatan ruang eksisting secara maksimal diantaranya adalah city centre (compact city), dan pembangunan vertikal. Disamping itu melalui pembangunan vertikal, tentu masih menyisakan lahan kosong yang dapat dijadikan sebagai RTH (ruang terbuka hijau), mengingat jumlah RTH di Jakarta selalu berkurang setiap tahun. sumber :http://jakarta.kompasiana.com/layanan-publik/2013/06/05/ada-apa-dengan-rencana-tata-ruang-jakarta-2030-562374.html